Ketika Anggota DPRD Suruh Pelindo Angkat Kaki dari Bengkulu

oleh -779 Dilihat
oleh
banner 468x60

Catatan dari Ujung Samudera

 

banner 336x280

Bengkulu, Penelusuran Online – Baru-baru ini, pernyataan kontroversial datang dari anggota DPRD Provinsi Bengkulu, Teuku Zulkarnain, yang meminta Pelindo “angkat kaki” dari Bengkulu. Sebuah cuitan yang memantik perhatian publik dan menimbulkan pertanyaan mendasar: seberapa paham sebenarnya seorang wakil rakyat terhadap sistem pengelolaan pelabuhan nasional?

Pernyataan tersebut, jika dilihat dari sudut hukum dan struktur kelembagaan negara, jelas tidak berdasar. Pelindo bukan perusahaan swasta biasa yang bisa diusir seenaknya dari satu wilayah. Pelindo adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang sahamnya 100 persen dimiliki oleh Kementerian BUMN, mewakili Negara Republik Indonesia. Artinya, kehadiran Pelindo di Bengkulu bukanlah “menumpang” seperti yang mungkin dibayangkan, tapi merupakan bagian dari sistem nasional yang sah dan legal.

Lebih dari itu, Pelindo mengelola pelabuhan-pelabuhan strategis di seluruh Indonesia sebagai entitas tunggal hasil transformasi BUMN pelabuhan sejak 2023. Transformasi ini justru bertujuan meningkatkan efisiensi dan mempercepat pertumbuhan ekonomi lewat sistem logistik yang terintegrasi—sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh daerah seperti Bengkulu, yang selama ini tertinggal dalam konektivitas logistik nasional.

Alih-alih mendorong pengembangan pelabuhan melalui kerja sama yang konstruktif dengan Pelindo dan pemerintah pusat, seorang anggota dewan justru memilih bersuara populis. Mungkin cuitan itu berhasil menarik perhatian, tapi pada akhirnya malah menunjukkan ketidakmengertian terhadap bagaimana negara bekerja.

Otoritas pelabuhan sendiri bukan berada di tangan provinsi, melainkan dibentuk dan bertanggung jawab langsung kepada Menteri Perhubungan. Maka menjadi aneh jika DPRD merasa punya kuasa mengatur, apalagi mengusir, operator pelabuhan nasional dari wilayahnya.

Jika ada persoalan pelayanan atau pengelolaan pelabuhan di Bengkulu, sudah seharusnya dibahas melalui mekanisme formal antara pemerintah daerah dan pihak Pelindo, bukan lewat ancaman terbuka di media sosial. Pernyataan semacam itu bukan hanya keliru secara administratif, tapi juga berbahaya—karena bisa memicu ketegangan antara pusat dan daerah, serta menghambat investasi dan pelayanan publik yang lebih luas.

Pelabuhan bukan milik provinsi, dan Pelindo bukan tamu yang bisa diusir. Ia adalah perpanjangan tangan negara yang justru bertugas memastikan roda logistik nasional terus bergerak. Wakil rakyat seharusnya menjadi jembatan untuk kerja sama, bukan sumber provokasi.

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.