Oleh : Babul Hairien
Bengkulu, Penelusuran Online – Pulau Enggano sedang menjerit. Selama lebih dari dua minggu, pulau terluar ini terputus dari daratan utama. Tak ada kapal, tak ada logistik, dan tak ada kepastian. Sementara itu, harga kebutuhan pokok melambung, BBM mengering, dan aktivitas warga lumpuh total. Di ujung negeri ini, rakyat bertahan hidup dalam keterpaksaan.
Tapi mari lihat ke daratan. Di sana, pejabat berpakaian rapi duduk di balik meja-meja jamuan. Ada tawa, ada pidato, ada unggahan media sosial yang menggambarkan “keberhasilan”. Ada pesta di tengah krisis. Dan itu bukan metafora.
Apakah para pemimpin kita tidak tahu apa yang terjadi di Enggano? Atau mereka tahu, tapi merasa tak perlu peduli?
Gubernur Bengkulu Helmi Hasan, sebagai pemimpin tertinggi di provinsi ini, punya tanggung jawab moral dan politis untuk berdiri paling depan membela warganya. Tapi hingga kini, publik belum melihat suara tegas, apalagi tindakan nyata, dari beliau terkait keterisolasian Enggano. Di mana suara tegasnya ke pemerintah pusat? Ke Kementerian Perhubungan? Ke Presiden?
Begitu pula Bupati Bengkulu Utara Arie Septia Hadinata, yang secara administratif menaungi Enggano. Apakah beliau sudah cukup bersuara, atau masih terdiam dalam ruang hening birokrasi?
Mereka tak bisa hanya duduk menunggu alokasi anggaran pusat. Rakyat Enggano tak butuh prosedur—mereka butuh perahu, kapal, jaminan logistik, dan kehadiran negara.
Salah satu akar dari masalah ini adalah pendangkalan alur Pelabuhan Pulau Baai. Kita tahu itu, pemerintah juga tahu. Tapi mengapa tak kunjung dikeruk? Apakah karena Enggano tidak punya nilai politis? Apakah karena mereka jauh dari sorotan kamera dan arena pemilu?.
Persoalan Pelabuhan Pulau Baai juga bukan hanya pendangkalan terutama di alur masuk lentera merah tapi jebol daratan di belakang dermaga Pertamina.
Opini ini bukan sekadar kritik. Ini alarm. Jika pemimpin daerah tidak bisa bersuara untuk rakyatnya yang terpinggirkan, maka untuk siapa mereka menjabat? Jika penderitaan tidak lagi menggugah nurani, maka kekuasaan telah kehilangan arti.
Kita tidak sedang bicara tentang logistik semata. Ini tentang keadilan. Tentang rasa memiliki sebagai bangsa. Karena ketika pemimpin bisa tertawa di meja makan, sementara rakyat di pulau terluar bertahan hidup dengan sisa, itu bukan sekadar ironi. Itu luka dalam nadi republik.
Sudah saatnya mereka yang punya panggung, berdiri dan bicara. Atau sejarah akan mencatat: saat Enggano terisolasi, Bengkulu berpesta.