Bengkulu, Penelusuran Online – Penanganan kasus korupsi kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari pengelolaan Mega Mall dan Pasar Tradisional Modern (PTM) Bengkulu memasuki babak baru. Kejaksaan Tinggi Bengkulu resmi menetapkan Direktur Utama PT. Dwisaha Selaras Abadi, Wahyu Laksono, sebagai tersangka ketiga dalam kasus yang menimbulkan kerugian negara hingga lebih dari Rp200 miliar. Ia ditangkap dan langsung dijebloskan ke Rutan Bengkulu pada Jumat, 6 Juni 2025.
Wahyu tiba di Bengkulu mengenakan rompi tahanan setelah diterbangkan dari Jakarta dengan pengawalan ketat penyidik pidana khusus Kejati Bengkulu. Penahanan dilakukan usai penyidik memastikan adanya dua alat bukti yang cukup untuk menetapkannya sebagai tersangka. Wahyu diduga berperan penting dalam proses perjanjian awal antara pihak swasta dan Pemerintah Kota Bengkulu pada tahun 2004 yang kemudian membuka celah terjadinya kebocoran PAD dan tindak pidana korupsi berlapis.
Hasil penyidikan mengungkap bahwa lahan Mega Mall dan PTM Bengkulu pada 2004 dialihkan dari Hak Pengelolaan Lahan (HPL) menjadi Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB), yang kemudian dipecah menjadi dua bagian. SHGB tersebut selanjutnya diagunkan oleh pihak ketiga ke empat bank berbeda. Ironisnya, meski kredit dari agunan tersebut sempat macet, SHGB yang sama kembali digunakan sebagai jaminan ke bank lain, hingga terjadi tumpang tindih utang atas satu aset. Kejaksaan menduga proses ini tidak lepas dari peran Wahyu Laksono sebagai aktor kunci dalam perjanjian awal yang saat ini masih terus didalami.
Penyidik juga menemukan bahwa sejak bangunan Mega Mall dan PTM berdiri, pihak pengelola tidak pernah menyetorkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ke kas daerah. Hal ini memperkuat dugaan bahwa perjanjian awal dan seluruh proses pengelolaan berjalan tanpa kontrol yang sah dan akuntabel. Potensi kerugian negara akibat kebocoran ini ditaksir mencapai lebih dari Rp200 miliar.
Kasi Penkum Kejati Bengkulu, Ristianti Andriani, menyampaikan bahwa perkara ini masih terus dikembangkan dan terbuka kemungkinan adanya tersangka baru dari kalangan swasta maupun penyelenggara negara. Kasi Penyidikan Danang Prasetyo menambahkan bahwa pihaknya belum dapat membuka isi detail perjanjian antara Pemkot dan pihak ketiga karena alasan teknis penyidikan. Diketahui, perjanjian tersebut sempat beberapa kali direvisi, namun tidak pernah mencapai kesepakatan final.
Sumber internal Kejati menyebut, proses peralihan status aset dan agunan berulang menunjukkan adanya praktik persekongkolan antara oknum pejabat dan pihak swasta. Aset strategis daerah yang seharusnya memberikan kontribusi bagi PAD justru dijadikan alat penguasaan sepihak oleh pihak ketiga, dengan pola pengelolaan tertutup dan minim transparansi.
Penahanan Wahyu Laksono diyakini membuka jalan bagi pengusutan lebih dalam terhadap jaringan korupsi yang membelit aset-aset strategis Pemkot Bengkulu. Kejati Bengkulu menegaskan bahwa kasus ini tidak akan berhenti pada pelaku lapangan saja, melainkan juga menyasar siapa pun yang terlibat, termasuk jika terdapat unsur penyelenggara negara dalam struktur awal perjanjian.
Skandal ini menjadi peringatan keras bahwa lemahnya pengawasan terhadap aset negara bisa menjadi celah korupsi sistemik. Masyarakat kini menanti keberanian Kejati Bengkulu untuk membongkar tuntas seluruh jaringan pelaku, demi mengembalikan hak keuangan daerah dan menegakkan keadilan secara menyeluruh.