Bengkulu, Penelusuran Online – Pertumbuhan ekonomi tidak hanya diukur dari angka-angka makro, tetapi dari bagaimana pertumbuhan tersebut memberi makna bagi kehidupan masyarakat di tingkat paling dasar. Di Bengkulu, optimisme terhadap pertumbuhan ekonomi yang berkualitas tidak lahir dari pencitraan, melainkan dari transformasi nyata yang terjadi di sektor paling vital: Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Cerita Supriadi, pemilik Coffee Lestari dari Sindang Dataran, adalah gambaran konkret bagaimana ekonomi rakyat dapat naik kelas bila didukung ekosistem yang tepat. Dari seorang peracik kopi rumahan yang kesulitan menjual 10 kilogram bubuk kopi, ia kini mampu menembus pasar internasional melalui ajang World of Coffee Jakarta 2025. Ini bukan semata keberhasilan individu, tetapi sinyal kuat bahwa struktur ekonomi Bengkulu sedang bergerak ke arah yang lebih dalam dan terintegrasi: dari ekonomi informal ke formal, dari produksi mentah ke hilirisasi, dari konsumsi ke ekspor.
Berdasarkan data yang dihimpun dari kegiatan Capacity Building Wartawan Ekonomi oleh Bank Indonesia Perwakilan Bengkulu, UMKM masih menyumbang lebih dari 60% PDB nasional dan menyerap hingga 97% tenaga kerja. Di Bengkulu, UMKM bukan sekadar pilar ekonomi, melainkan tulang punggung yang menopang daya beli, mendorong inklusi keuangan, dan memperkuat ketahanan ekonomi lokal.
Namun, selama ini UMKM sering terjebak dalam lingkaran stagnasi: akses terbatas ke pembiayaan, teknologi yang ketinggalan, dan pasar yang sempit. Inisiatif Bank Indonesia dalam membina pelaku UMKM potensial seperti Coffee Lestari adalah bentuk intervensi strategis yang tidak hanya bersifat bantuan teknis, tetapi menciptakan leverage struktural. Kemitraan ini memecah kebuntuan klasik UMKM—terutama dalam mengakses pasar premium, standar kualitas ekspor, dan sistem pembayaran digital.
Langkah Bank Indonesia menurunkan BI-Rate sebesar 25 basis poin menjadi 5,50% adalah sinyal kuat bahwa kebijakan moneter nasional sedang diarahkan untuk menjaga keseimbangan antara stabilitas dan stimulus. Dalam konteks Bengkulu, ini berarti pelonggaran moneter akan memperkuat daya beli rumah tangga, sekaligus mendorong perbankan untuk meningkatkan pembiayaan ke sektor produktif, terutama UMKM.
Namun, penurunan suku bunga tidak serta merta berdampak tanpa komunikasi kebijakan yang efektif. Di sinilah peran media menjadi krusial, sebagaimana ditekankan Kepala BI Bengkulu, Wahyu Yuwana Hidayat. Keterbukaan informasi menjadi jembatan agar pelaku usaha dan masyarakat memahami bahwa kebijakan yang diambil bukan sekadar angka, tetapi strategi untuk menjaga keseimbangan antara inflasi, nilai tukar, dan pertumbuhan riil.
Digitalisasi sistem pembayaran melalui QRIS, termasuk rencana ekspansi QRIS antarnegara, adalah kebijakan transformatif yang diarahkan langsung untuk UMKM. Dalam kerangka ekonomi Bengkulu yang kaya akan komoditas unggulan—kopi, pertanian, hingga pariwisata—digitalisasi sistem transaksi akan menurunkan biaya, mempercepat siklus keuangan, dan membuka akses pasar lintas batas. Bagi UMKM seperti Coffee Lestari, digitalisasi berarti transparansi dalam manajemen keuangan, kemudahan transaksi, serta integrasi ke dalam ekosistem keuangan formal. Ini adalah prasyarat penting untuk “naik kelas”—karena tanpa keuangan digital, UMKM akan terus berada dalam bayang-bayang ekonomi informal yang tidak produktif secara sistemik.
Optimisme ekonomi Bengkulu tidak berdiri di atas pertumbuhan yang cepat semata, tetapi pada kualitas pertumbuhan itu sendiri. Kualitas dalam arti menyebar (inklusif), mampu bertahan terhadap gejolak (resilien), dan berkelanjutan secara jangka panjang (sustainable). UMKM adalah kanal distribusi ekonomi yang paling efektif, karena mereka menciptakan lapangan kerja langsung, memperkuat kemandirian lokal, dan menyebarkan manfaat ekonomi hingga ke pinggiran.
Jika kisah sukses Coffee Lestari bisa direplikasi ke ratusan UMKM lainnya di Bengkulu—dengan dukungan pembinaan, akses pembiayaan, dan pasar digital—maka struktur ekonomi daerah akan mengalami transformasi mendalam. Tidak lagi tergantung pada APBD atau belanja pemerintah pusat, tetapi ditopang oleh produktivitas rakyat dan inovasi lokal yang mandiri.
Bank Indonesia, pemerintah daerah, dan media memiliki tanggung jawab kolektif untuk memastikan pertumbuhan ekonomi Bengkulu bukan sekadar tren sesaat, tetapi transformasi struktural yang menciptakan kesejahteraan merata. Di balik secangkir kopi hasil tangan Supriadi, tersimpan pesan kuat bahwa pertumbuhan ekonomi yang berkualitas harus berpihak pada mereka yang selama ini luput dari sorotan—pelaku UMKM, petani, dan masyarakat desa.
Inilah optimisme yang berbasis data, kisah nyata, dan arah kebijakan yang sinergis. Bengkulu bukan sekadar bertumbuh, tetapi bertumbuh dengan bermartabat.