Bengkulu, Penelusuran Online – Di balik megahnya bangunan Mega Mall dan Pasar Tradisional Modern (PTM) Kota Bengkulu, ternyata tersimpan kisah kelam tentang dugaan kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang kini menyeret sejumlah tokoh penting ke hadapan hukum.
Selasa, 17 Juni 2025 menjadi babak baru dalam pengungkapan kasus ini. Tim Penyidik Tindak Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi Bengkulu kembali menetapkan tiga tersangka baru. Mereka adalah H-R, Direktur PT Tigadi Lestari; S-B, Komisaris perusahaan yang sama; dan C-D, mantan pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bengkulu.
Ketiganya diperiksa intensif sejak pukul 11.00 WIB sebelum akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. H-R dan S-B, yang diketahui sebagai adik kandung Wahyu Laksono – salah satu tersangka sebelumnya – langsung digiring ke Rutan Malabero. Sementara C-D dititipkan di Lapas Argamakmur, Bengkulu Utara. Penahanan ini akan berlangsung selama 20 hari ke depan.
“Benar, mereka sudah kami tetapkan sebagai tersangka. Ada yang sudah kami periksa sebelumnya, dan hari ini resmi kami tahan,” ujar Kasi Pidsus Kejati Bengkulu Danang Prasetyo, didampingi Kasi Penkum Ristianti Andriani.
Namun, cerita ini belum selesai. Danang menegaskan bahwa penetapan tersangka belum berhenti di angka enam. “Tersangkanya banyak. Kami sudah periksa puluhan saksi dari pihak swasta hingga pejabat yang menjabat saat kebocoran PAD ini terjadi,” ungkapnya.
Sebelumnya, Kejaksaan telah menetapkan tiga tersangka lainnya: Ahmad Kanedi, mantan Wali Kota Bengkulu; Kurniadi Benggawan, Direktur Utama PT Tigadi Lestari sekaligus pemilik Mega Mall; dan Wahyu Laksono, Direktur PT Dwisaha Selaras Abadi yang menjadi pengelola Mega Mall dan PTM.
Dugaan penyimpangan ini bermula dari perubahan status lahan Mega Mall yang awalnya adalah Hak Pengelolaan Lahan (HPL) milik Pemerintah Kota Bengkulu pada tahun 2004. Entah bagaimana, lahan ini berubah status menjadi Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan kemudian dipecah untuk dua bangunan: Mega Mall dan pasar.
Masalah tidak berhenti di sana. SHGB tersebut kemudian dijadikan agunan pinjaman ke perbankan oleh pengelola. Saat kredit macet, SHGB kembali diagunkan ke bank lain hingga menimbulkan utang ke pihak ketiga. Tragisnya, lahan milik pemerintah ini sempat diiklankan untuk dijual oleh pihak ketiga.
Tak hanya itu, selama bertahun-tahun sejak operasional dimulai, pihak pengelola tidak pernah menyetorkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ke kas daerah. Akibatnya, negara ditaksir mengalami kerugian hingga ratusan miliar rupiah.
Kini, Kejaksaan Tinggi Bengkulu telah menyita lahan Mega Mall dan PTM sebagai barang bukti dalam perkara ini. Mereka juga terus mendalami potensi keterlibatan pihak lain yang diduga turut serta dalam skema yang merugikan keuangan daerah secara besar-besaran ini.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, terkait penyalahgunaan wewenang dan perbuatan yang merugikan keuangan negara.
Mega Mall dan PTM mungkin tetap berdiri megah. Namun di balik kemilau lampunya, kini tersingkap borok korupsi yang menanti penebusan hukum.