Ketika Cahaya Disingkirkan dari Negeri Sendiri

oleh -102 Dilihat
oleh
banner 468x60

Oleh: Rosadi Jamani – Ketua Satupena Kalbar

Setelah mengulas sosok Herry IP, pelatih yang mengantar ganda Malaysia berjaya di pentas bulutangkis, kini giliran kita menyorot kisah lain—Dr. Warsito Purwo Taruno. Nasibnya mirip: berjasa besar di luar negeri, namun justru diabaikan, bahkan ditolak di tanah airnya sendiri. Bedanya, ini bukan dunia olahraga, melainkan dunia medis, dunia nyawa manusia. Mari kita dalami kisah penemu ECCT, alat penghancur sel kanker. Siapkan kopi dan gorengan tela-tela, Wak.

banner 336x280

Di sebuah negeri bernama Indonesia, seorang ilmuwan bernama Dr. Warsito Purwo Taruno menyalakan lentera harapan di lorong tergelap dunia medis. Ia bukan siapa-siapa ketika lahir di Surakarta, 15 Mei 1967. Namun, dari tanah sederhana itu, tumbuh seorang anak yang kelak menjadi pelopor teknologi terapi kanker berbasis medan listrik. Dunia mengakui kehebatannya, tetapi bangsanya sendiri malah menolaknya.

Pendidikannya dimulai dari SMA Negeri 1 Karanganyar, dilanjutkan ke Teknik Kimia UGM, lalu menembus jenjang doktoral di Shizuoka University, Jepang. Bukan hanya menuntaskan studi, Warsito menciptakan Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT)—alat tomografi 4 dimensi yang kini digunakan NASA, Exxon Mobil, hingga Shell. Ia bukan sekadar lulusan luar negeri, ia adalah penemu kelas dunia.

Namun pencapaian terbesar lahir bukan dari laboratorium kampus, melainkan dari pergulatan batin saat adiknya divonis kanker payudara stadium akhir. Saat rumah sakit angkat tangan, Warsito tak menyerah. Ia kembali ke lab dan melahirkan Electrical Capacitive Cancer Therapy (ECCT)—terapi medan listrik yang menghancurkan sel kanker tanpa operasi, tanpa kemoterapi, tanpa radiasi. Sebuah terobosan, lahir dari cinta dan harapan.

Melalui CTech Labs Edwar Technology, ECCT dikembangkan. Ribuan pasien datang dari seluruh Indonesia. Tapi apa balasan negeri ini? Tahun 2015, Kementerian Kesehatan menutup kliniknya dan mencabut izinnya. Bukan ucapan terima kasih yang datang, melainkan larangan riset. Bukan apresiasi, melainkan pembungkaman.

Tak patah arang, Warsito membawa ECCT ke Warsawa, Polandia—negeri tempat Marie Curie dahulu menaklukkan radioaktif. Di sana, teknologi ini disambut hangat. Pelatihan internasional digelar. Kanada, Amerika Serikat, Australia, hingga Singapura tertarik mengembangkan. Dunia membuka tangan, saat Indonesia menutup pintu.

Meski ditolak di negeri sendiri, Warsito tak menyimpan dendam. Ia tetap meneliti, mengajar, mengembangkan teknologi, menyelamatkan nyawa. Lebih dari 150 artikel ilmiah diterbitkan. Lebih dari 10 paten internasional dikantongi. Ia menerima Achmad Bakrie Award (2009) dan BJ Habibie Technology Award (2015). Dunia memanggilnya ilmuwan besar. Indonesia masih diam.

Kisah Dr. Warsito bukan sekadar tentang teknologi. Ini kisah perjuangan. Tentang seorang ilmuwan yang dicintai dunia, tapi disisihkan bangsanya. Tentang negeri yang terbiasa mengusir cahaya lalu memujanya ketika dunia sudah lebih dulu berlutut.

Apakah bangsa ini hanya akan terus menjadi pengusir diam-diam para jeniusnya? Apakah kita hanya akan memberi ruang bagi penghafal kebijakan, tapi menyingkirkan pencipta harapan?

Warsito telah memberi contoh bahwa cinta negeri tak harus menunggu pengakuan. Tapi sampai kapan negeri ini terus menutup pintu pada cahaya?

Jika Warsito bukan pahlawan, maka kita perlu bertanya ulang: siapa sesungguhnya pahlawan dalam dunia yang sesak oleh birokrasi tapi hampa keberpihakan?

“Jika ilmu untuk menyelamatkan nyawa dianggap melanggar aturan, maka biarlah dunia menjadi saksi bahwa aku pernah mencoba.”
Begitu kira-kira pesan diam Dr. Warsito. Sebuah pesan yang tak akan lekang oleh waktu.

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.